Sejarah Silat Cimande
Semua komunitas Maenpo Cimande sepakat tentang siapa penemu Maenpo Cimande, semua mengarah kepada Abah Khaer (penulisan
ada yang: Kaher, Kahir, Kair, Kaer dsb. Abah dalam bahasa Indonesia
berarti Eyang, atau dalam bahasa Inggris Great Grandfather). Tetapi yang
sering diperdebatkan adalah dari mana Abah Khaer itu berasal dan
darimana dia belajar Maenpo. Ada 3 versi utama yang sering
diperdebatkan, yaitu:
1. Versi Pertama
Ini adalah versi yang berkembang di daerah Priangan Timur (terutama
meliputi daerah Garut dan Tasikmalaya) dan juga Cianjur selatan.
Berdasarkan versi yang ini, Abah Khaer belajar Silat dari istrinya. Abah
Khaer diceritakan sebagai seorang pedagang (dari Bogor sekitar abad
17-abad 18) yang sering melakukan perjalanan antara Batavia, Bogor,
Cianjur, Bandung, Sumedang, dsb. Dan dalam perjalanan tersebut beliau
sering dirampok, itu terjadi sampai istrinya menemukan sesuatu yang
berharga.
Suatu waktu, ketika Abah Khaer pulang dari berdagang, beliau tidak
menemukan istrinya ada di rumah… padahal saat itu sudah menjelang sore
hari, dan ini bukan kebiasaan istrinya meninggalkan rumah sampai sore.
Beliau menunggu dan menunggu… sampai merasa jengkel dan khawatir…
jengkel karena perut lapar belum diisi dan khawatir karena sampai
menjelang tengah malam istrinya belum datang juga. Akhirnya tak lama
kemudian istrinya datang juga, hilang rasa khawatir… yang ada tinggal
jengkel dan marah. Abah Khaer bertanya kepada istrinya… “ti mana maneh?”
(Dari mana kamu?) tetapi tidak menunggu istrinya menjawab, melainkan
langsung mau menempeleng istrinya. Tetapi istrinya malah bisa menghindar
dengan indahnya, dan membuat Abah Khaer kehilangan keseimbangan. Ini
membuat Abah Khaer semakin marah dan mencoba terus memukul… tetapi
semakin mencoba memukul dengan amarah, semakin mudah juga istrinya
menghindar. Ini terjadi terus sampai Abah Khaer jatuh kecapean dan
menyadari kekhilafannya… dan bertanya kembali ke istrinya dengan halus
“ti mana anjeun teh Nyi? Tuluy ti iraha anjeun bisa Ulin?” (Dari mana
kamu? Lalu dari mana kamu bisa “Main”?).
Akhirnya istrinya menjelaskan bahwa ketika tadi pagi ia pergi ke
sungai untuk mencuci dan mengambil air, ia melihat Harimau berkelahi
dengan 2 ekor monyet. (Salah satu monyet memegang ranting pohon.) Saking
indahnya perkelahian itu sampai-sampai ia terkesima, dan memutuskan
akan menonton sampai beres. Ia mencoba mengingat semua gerakan baik itu
dari Harimau maupun dari Monyet, untungnya baik Harimau maupun Monyet
banyak mengulang-ngulang gerakan yang sama, dan itu mempermudah ia
mengingat semua gerakan. Pertarungan antara Harimau dan Monyet sendiri
baru berakhir menjelang malam.
Setelah pertarungan itu selesai, ia masih terkesima dan dibuat
takjub oleh apa yang ditunjukan Harimau dan Monyet tersebut. Akhirnya ia
pun berlatih sendirian di pinggir sungai sampai betul-betul menguasai
semuanya (Hapal), dan itu menjelang tengah malam.
Apa yang ia pakai ketika menghindar dari serangan Abah Khaer,
adalah apa yang ia dapat dari melihat pertarungan antara Harimau dan
Monyet itu. Saat itu juga, Abah Khaer meminta istrinya mengajarkan
beliau. Ia berpikir, 2 kepala yang mengingat lebih baik daripada satu
kepala. Ia takut apa yang istrinya ingat akan lupa. Beliau berhenti
berdagang dalam suatu waktu, untuk melatih semua gerakan itu, dan baru
berdagang kembali setelah merasa mahir. Diceritakan bahwa beliau bisa
mengalahkan semua perampok yang mencegatnya, dan mulailah beliau
membangun reputasinya di dunia persilatan.
Jurus yang dilatih:
1. Jurus Harimau/Pamacan (Pamacan, tetapi mohon dibedakan pamacan
yang “black magic” dengan jurus pamacan. Pamacan black magic biasanya
kuku menjadi panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dll. Silakan guyur aja dengan air kalau ketemu yang kaya gini).
2. Jurus Monyet/Pamonyet (Sekarang sudah sangat jarang sekali yang
mengajarkan jurus ini, dianggap punah. Saya sendiri sempat melihatnya di
Tasikmalaya, semoga beliau diberi umur panjang, kesehatan dan murid
yang berbakti sehingga jurus ini tidak benar-benar punah).
3. Jurus Pepedangan (ini diambil dari monyet satunya lagi yang memegang ranting).
Cerita di atas sebenarnya lebih cenderung mitos, tidak bisa
dibuktikan kebenarannya, walaupun jurus-jurusnya ada. Maenpo Cimande
sendiri dibawa ke daerah Priangan Timur dan Cianjur selatan oleh
pekerja-pekerja perkebunan teh. Hal yang menarik adalah beberapa
perguruan tua di daerah itu kalau ditanya darimana belajar Maenpo
Cimande selalu menjawab “ti indung” (dari ibu), karena memang mitos itu
mempengaruhi budaya setempat, jadi jangan heran kalau di daerah itu
perempuan pun betul-betul mempelajari Maenpo Cimande dan mengajarkannya
kepada anak-anak atau cucu-cucunya, seperti halnya istrinya Abah Khaer
mengajarkan kepada Abah Khaer.
Perkembangannya Maenpo Cimande sendiri sekarang di daerah tersebut
sudah diajarkan bersama dengan aliran lain (Cikalong, Madi, Kari,
Sahbandar, dll). Beberapa tokoh yang sangat disegani adalah K.H. Yusuf
Todziri (sekitar akhir 1800 – awal 1900), Kiai Papak (perang
kemerdekaan, komandannya Mamih Enny), Kiai Aji (pendiri Gadjah Putih
Mega Paksi Pusaka, perang kemerdekaan), Kiai Marzuk (Maenpo H. Marzuk,
jaman penjajahan Belanda), dll.
2. Versi Kedua
Menurut versi kedua, Abah Khaer adalah seorang
ahli maenpo dari Kampung Badui. Beliau dipercayai sebagai keturunan Abah
Bugis (Bugis di sini tidak merujuk kepada nama suku atau daerah di
Indonesia Tengah). Abah Bugissendiri adalah salah
seorang Guru ilmu perang khusus dan kanuragaan untuk prajurit pilihan di
Kerajaan Padjadjaran dahulu kala. Kembali ke Badui, keberadaan Abah
Khaer di Kampung Badui mengkhawatirkan sesepuh-sesepuh Kampung Badui,
karena saat itu banyak sekali pendekar-pendekar dari daerah lain yang
datang dan hendak mengadu jurus dengan Abah Khaer, dan semuanya berakhir
dengan kematian. Kematian karena pertarungan di tanah Badui adalah
merupakan “pengotoran” akan kesucian tanah Badui.
Karena itu, pimpinan Badui (biasa dipanggil Pu’un) meminta Abah
Khaer untuk meninggalkan Kampung Badui, dengan berat hati… Abah Khaer
pun pergi meninggalkan Kampung Badui dan bermukim di desa Cimande-Bogor.
Tetapi, untuk menjaga rahasia-rahasia Kampung Badui (terutama Badui
dalam), Abah Khaer diminta untuk membantah kalau dikatakan dia berasal
dari Badui, dan orang Badui (Badui dalam) pun semenjak itu diharamkan
melatih Maenpo mereka ke orang luar, jangankan melatih… menunjukan pun
tidak boleh. Satu hal lagi, Abah Khaer pun berjanji untuk “menghaluskan”
Maenpo nya, sehingga tidak ada lagi yang terbunuh dalam pertarungan,
dan juga beliau berjanji hanya akan memakai dan memanfaatkannya untuk
kemanusiaan. Oleh karena itu, dahulu beberapa Guru-guru Cimande tua
tidak akan menerima bayaran dari muridnya yang berupa uang, lain halnya
kalau mereka memberi barang… misal beras, ayam, gula merah atau tembakau
sebagai wujud bakti murid terhadap Guru. Barang-barang itupun, oleh
Guru tidak boleh dijual kembali untuk diuangkan.
Versi kedua ini banyak diadopsi oleh komunitas Maenpo dari daerah
Jawa Barat bagian barat (Banten, Serang, Sukabumi, Tangerang, dsb).
Mereka juga mempercayai beberapa aliran tua di sana awalnya dari Abah
Khaer, misalnya Sera. Penca Sera berasal dari Uwak Sera yang dikatakan
sebagai salah seorang murid Abah Khaer (ada yang mengatakan anak, tetapi
paham ini bertentangan dengan paham lain yang lebih tertulis). Penca
Sera sendiri sayangnya sekarang diakui dan dipatenkan di USoleh orang
Indo-Belanda sebagai beladiri keluarga mereka.
3. Versi Ketiga
Versi ketiga inilah yang “sedikit” ada bukti-bukti tertulis dan
tempat yang lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan
beliau di Kampung Tarik Kolot – Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi
ini tidak menjawab tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang
menciptakan aliran Maenpo ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
Abah Khaer diceritakan sebagai murid dari Abah Buyut, masalahnya
dalam budaya Sunda istilah Buyut dipakai sebagaimana “leluhur” dalam
bahasaIndonesia. Jadi Abah Buyut sendiri merupakan sebuah misteri
terpisah, darimana beliau belajar Maenpo ini… apakah hasil perenungan
sendiri atau ada yang mengajari? Yang pasti, di desa tersebut… tepatnya
di Tanah Sareal terletak makam leluhur Maenpo Cimande ini… Abah Buyut,
Abah Rangga, Abah Khaer, dll.
Abah Khaer awalnya berprofesi sebagai pedagang (kuda dan lainnya),
sehingga sering bepergian ke beberapa daerah, terutama Batavia. Saat itu
perjalanan Bogor-Batavia tidak semudah sekarang, bukan hanya perampok…
tetapi juga Harimau, Macan Tutul dan Macan Kumbang. Tantangan alam
seperti itulah yang turut membentuk beladiri yang dikuasai Abah Khaer
ini. Disamping itu, di Batavia Abah Khaer berkawan dan saling bertukar
jurus dengan beberapa pendekar dari China dan juga dari Sumatra. Dengan
kualitas basic beladirinya yang matang dari Guru yang benar (Abah
Buyut), juga tempaan dari tantangan alam dan keterbukaan menerima
kelebihan dan masukan orang lain, secara tidak sadar Abah Khaer sudah
membentuk sebuah aliran yang dahsyat dan juga mengangkat namanya.
Saat itu (sekitar 1700-1800) di Cianjur berkuasa
Bupati Rd. Aria Wiratanudatar VI (1776-1813, dikenal juga dengan nama
Dalem Enoh). Sang Bupati mendengar kehebatan Abah Khaer, dan memintanya
untuk tinggal di Cianjur dan bekerja sebagai “pamuk” (pamuk=guru
beladiri) di lingkungan Kabupatian dan keluarga bupati. Bupati Aria
Wiratanudatar VI memiliki 3 orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria
Cikalong), Rd. Aria Natanagara (Rd.Haji Muhammad Tobri) dan Aom Abas
(ketika dewasa menjadi Bupati di Limbangan-Garut). Satu nama yang patut
dicatat di sini adalah Aria Wiranagara (Aria Cikalong), karena beliaulah
yang merupakan salah satu murid terbaik Abah Khaer dan nantinya
memiliki cucu yang “menciptakan” aliran baru yang tak kalah dasyat.
Sepeninggal Bupati Aria Wiratanudatar VI (tahun 1813), Abah Khaer
pergi dari Cianjur mengikuti Rd. Aria Natanagara yang menjadi Bupati di
Bogor. Mulai saat itulah beliau tinggal di Kampung Tarik Kolot – Cimande
sampai wafat (Tahun 1825, usia tidak tercatat). Abah Khaer sendiri
memiliki 5 orang anak, seperti yang dapat dilihat di bawah ini. Mereka
inilah dan murid-muridnya sewaktu beliau bekerja di kabupaten yang
menyebarkan Maenpo Cimande ke seluruh Jawa Barat.
Sayangnya image tentang Abah Khaer sendiri tidak ada, cuma digambarkan bahwa beliau: “selalu berpakain kampret dan celana pangsi warna hitam. Dan juga beliau selalu memakai ikat kepala warna merah,
digambarkan bahwa ketika beliau “ibing” di atas panggung penampilannya
sangat expressif, dengan badan yang tidak besar tetapi otot-otot yang
berisi dan terlatih baik, ketika “ibing” (menari) seperti tidak mengenal
lelah. Terlihat bahwa dia sangat menikmati tariannya tetapi tidak
kehilangan kewaspadaannya, langkahnya ringan bagaikan tidak menapak
panggung, gerakannya selaras dengan kendang (“Nincak kana kendang” –
istilah sunda). Penampilannya betul-betul tidak bisa dilupakan dan terus
diperbincangkan.” (dari cerita/buku Pangeran Kornel, legenda dari
Sumedang, dalam salah satu bagian yang menceritakan kedatangan Abah
Khaer ke Sumedang, aslinya dalam bahasa Sunda, pengarang Rd Memed
Sastradiprawira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar